Bubarkan DPR Tak Akan Terjadi Tanpa Dukungan Militer, Kembalikan DPR kepada Fungsinya!!

hushwatchId

8/29/20255 min read

Bubarkan DPR Tak Akan Terjadi Tanpa Dukungan Militer

Sejak 25 Agustus 2025 gelombang demonstrasi yang menuntut “Bubarkan DPR” muncul di berbagai daerah, dengan alasan bahwa parlemen sudah tidak lagi mencerminkan aspirasi rakyat. Narasi itu berkembang cepat, seakan-akan pembubaran lembaga legislatif bisa dilakukan hanya dengan suara massa di jalan. Padahal, jika menengok sejarah politik Indonesia, hal semacam itu tidak pernah bisa terjadi tanpa dukungan kekuatan militer.

Soekarno Mengeluarkan Dekrit Didukung Militer

Sejarah Indonesia mencatat bahwa pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengumumkan sebuah langkah besar yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli. Isi dekrit itu tegas:

  1. Membubarkan Konstituante hasil Pemilu 1955,

  2. Memberlakukan kembali UUD 1945, dan menyatakan tidak berlakunya lagi UUD Sementara 1950,

  3. Membentuk MPRS dan DPAS untuk melengkapi sistem ketatanegaraan baru.

Dekrit ini tidak lahir begitu saja. Latar belakangnya adalah kebuntuan politik yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

Kebuntuan Konstituante

Sejak hasil Pemilu 1955, anggota Konstituante bertugas menyusun konstitusi baru sebagai pengganti UUDS 1950. Tetapi, sidang demi sidang selalu berujung perdebatan antara kelompok nasionalis, Islam, dan sosialis. Mereka tidak pernah mencapai kesepakatan tentang dasar negara: apakah tetap Pancasila, atau kembali pada Piagam Jakarta.

Kebuntuan ini berlangsung lebih dari tiga tahun. Pemerintah tidak punya kepastian hukum, sementara di lapangan muncul berbagai pemberontakan daerah (PRRI/Permesta) dan keresahan sosial-ekonomi. Negara dianggap tidak stabil, dan kepercayaan rakyat pada sistem parlementer menurun tajam.

Soekarno dan Gagasan Kembali ke UUD 1945

Melihat kondisi itu, Soekarno merasa sistem parlementer tidak cocok untuk Indonesia. Ia menawarkan konsep Demokrasi Terpimpin, yang menurutnya lebih sesuai dengan kepribadian bangsa. Bagi Soekarno, kembali ke UUD 1945 adalah jalan keluar terbaik, karena UUD 1945 dianggap sederhana, fleksibel, dan bisa memberi ruang kepemimpinan yang kuat di tangan presiden.

Namun, gagasan itu ditolak oleh banyak anggota Konstituante. Jalan kompromi buntu. Maka, pada 5 Juli 1959, Soekarno akhirnya membacakan Dekrit Presiden di Istana Merdeka.

Peran Kunci Militer

Dekrit itu berhasil bukan karena Soekarno seorang diri. Kunci utamanya adalah dukungan militer, terutama Angkatan Darat di bawah pimpinan Jenderal A.H. Nasution.

Nasution sejak awal menilai Konstituante gagal menjalankan fungsinya dan negara terancam. Maka, ia menyatakan Angkatan Darat mendukung penuh langkah Soekarno. Dukungan ini bukan sebatas politik, tetapi juga operasional di lapangan:

  • Pengamanan ibukota dan daerah: tentara memastikan tidak ada kerusuhan atau perlawanan setelah dekrit diumumkan.

  • Penguasaan gedung Konstituante di Bandung agar tidak ada sidang lagi.

  • Kontrol informasi dan komunikasi, memastikan masyarakat dan pejabat menerima keputusan presiden.

  • Tekanan simbolik, bahwa militer berdiri di belakang presiden sehingga partai-partai besar tidak berani menolak.

Faktanya, setelah dekrit dibacakan, tidak ada perlawanan berarti. Konstituante praktis berhenti, UUD 1945 kembali berlaku, dan semua lembaga negara menyesuaikan diri dengan cepat. Hal ini hanya mungkin karena ada jaminan kekuatan dari militer.

Kegagalan Gusdur Karna Tidak Didukung Militer

Pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berada dalam situasi politik yang sangat sulit. Hubungannya dengan DPR memburuk setelah ia mendapat dua kali memorandum karena dianggap melakukan pelanggaran dalam menjalankan pemerintahan. Konflik ini memuncak ketika DPR bersama MPR bersiap menggelar Sidang Istimewa untuk melengserkannya.

Merasa posisinya terpojok, Gus Dur sempat mewacanakan mengeluarkan dekrit presiden untuk membubarkan DPR dan menyelamatkan pemerintahannya. Dekrit itu bahkan dikabarkan sudah disiapkan dalam bentuk draft. Namun berbeda dengan pengalaman Soekarno pada 1959, langkah Gus Dur tidak memiliki kekuatan nyata di lapangan.

Mengapa? Karena militer tidak mendukungnya. Panglima TNI saat itu, Laksamana Widodo A.S., menolak memberikan dukungan penuh pada ide pembubaran DPR. Begitu juga dengan jajaran militer lain yang lebih memilih menjaga stabilitas ketimbang terlibat dalam manuver politik. Tanpa dukungan institusi bersenjata, dekrit presiden hanyalah teks tanpa gigi. Tidak ada aparat yang bisa menjamin pelaksanaan keputusan itu, dan tidak ada kekuatan yang bisa membungkam DPR.

Akibatnya bisa ditebak. Bukannya DPR bubar, lembaga itu justru melawan balik. MPR menggelar Sidang Istimewa dan memutuskan memberhentikan Gus Dur dari jabatannya pada 23 Juli 2001. Sejarah mencatat, dekrit presiden Gus Dur gagal total karena tidak ada dukungan militer di belakangnya.

Masuknya Militer ke Politik Bukanlah Jalan Keluar

Di titik ini, tuntutan pembubaran DPR yang digaungkan dalam demonstrasi hari ini sebetulnya mengabaikan pelajaran sejarah. Apapun narasi di jalanan, fakta politik Indonesia saat ini menunjukkan tidak ada satu pun unsur militer yang menyatakan dukungan terhadap langkah ekstrem seperti dekrit pembubaran DPR/MPR. Tanpa itu, ide bubarkan DPR hanya akan menjadi slogan kosong. Lebih jauh, mengharapkan tentara kembali turun tangan dalam politik justru berbahaya, karena membuka kembali pintu yang sudah ditutup sejak Reformasi 1998.

Masuknya militer ke ranah politik bukanlah jalan keluar, melainkan ancaman serius bagi demokrasi. Pertama, demokrasi akan mundur ke belakang. Selama Orde Baru, ketika militer memiliki “dwifungsi” dan kursi di parlemen, DPR hanya menjadi stempel pemerintah, rakyat tidak punya suara, dan oposisi dibungkam. Kedua, kebebasan sipil bisa terancam. Tentara bekerja dengan logika komando, bukan perdebatan. Bila mereka mengendalikan politik, kritik bisa dianggap ancaman dan represi bisa kembali terjadi. Ketiga, risiko perpecahan internal meningkat. Jika militer ditarik masuk ke dalam konflik politik sipil, friksi di tubuh angkatan bersenjata bisa muncul dan membahayakan stabilitas nasional. Keempat, posisi Indonesia di mata dunia bisa jatuh, dianggap gagal menjaga demokrasi yang sudah dibangun setelah Reformasi, dan ini berdampak langsung pada investasi serta hubungan internasional.

Karena itu, pelajaran yang seharusnya diambil dari sejarah bukanlah mengulang Dekrit 1959 atau langkah gagal Gus Dur, melainkan mengingat bahwa DPR harus dikembalikan kepada fungsinya sebagai lembaga representasi rakyat. Kritik publik terhadap DPR sah dan harus terus disuarakan, tetapi solusinya adalah reformasi internal, pembenahan etika politik, penegakan hukum, dan transparansi kerja legislator. Menyerukan “bubarkan DPR” tanpa memikirkan prasyarat sejarah dan konsekuensinya sama saja dengan membuka ruang bagi kembalinya militerisme, yang justru akan merusak demokrasi Indonesia sendiri.

Apa Dampaknya Jika Sekarang Ada Dekrit?

Masyarakat mungkin tergoda membayangkan skenario ekstrem: Presiden mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR, sebagaimana yang pernah dilakukan Soekarno pada 1959 saat kembali ke UUD 1945. Tapi konteks hari ini sangat berbeda. Ada beberapa dampak serius bila langkah itu ditempuh:

  1. Konstitusi Akan Rusak
    Sejak Reformasi, Indonesia menjadikan UUD 1945 hasil amandemen sebagai fondasi demokrasi. Semua mekanisme kenegaraan termasuk pemberhentian presiden maupun DPR sudah diatur jelas. Jika presiden mengeluarkan dekrit di luar mekanisme konstitusi, maka hal itu akan dianggap inkonstitusional. Dampaknya: krisis hukum dan krisis legitimasi.

  2. Militer Bisa Terseret Lagi ke Politik
    Dekrit hanya bisa berjalan kalau didukung oleh kekuatan militer. Tapi kita tahu, sejak Reformasi 1998, militer sudah ditarik dari politik praktis. Kalau hari ini militer masuk lagi untuk mendukung dekrit, maka yang terjadi adalah kemunduran besar. Tentara akan kembali jadi aktor politik, bukan lagi alat pertahanan negara. Ini berbahaya karena membuka peluang otoritarianisme dan menghapus prinsip civilian supremacy (kekuasaan sipil di atas militer).

  3. Kekacauan Politik dan Ekonomi
    Investor, pasar, dan publik akan melihat Indonesia tidak stabil. Jika DPR dibubarkan dengan cara inkonstitusional, legitimasi pemerintah akan runtuh di mata dunia. Akibatnya bisa timbul krisis ekonomi, gejolak sosial, hingga memperburuk kehidupan rakyat kecil.

  4. Demokrasi Bisa Mati
    Dekrit yang mematikan DPR pada dasarnya adalah pemusatan kekuasaan. Kalau dibiarkan, Indonesia akan kembali ke era demokrasi terpimpin atau bahkan otoritarianisme baru. Padahal Reformasi sudah berdarah-darah untuk memastikan demokrasi berjalan.

Kembalikan DPR Kepada Fungsinya

Demokrasi Indonesia tidak bisa dibangun dengan jalan pintas berupa pembubaran lembaga legislatif. Justru yang harus dilakukan adalah mengembalikan DPR kepada fungsinya sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya. Ada tiga fungsi utama yang wajib dijalankan DPR:

  1. Fungsi Legislasi
    DPR harus kembali menjadi lembaga pembuat undang-undang yang berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan pada kepentingan kelompok, partai, atau oligarki. Proses legislasi yang selama ini sering dituding sarat kepentingan sempit harus dikembalikan ke ruh demokrasi: transparan, partisipatif, dan berpihak pada masyarakat luas.

  2. Fungsi Anggaran
    DPR memiliki hak mengelola dan mengawasi anggaran negara. Di sinilah kepercayaan publik sering runtuh, karena anggaran kerap dipakai untuk bancakan politik atau proyek yang tidak menyentuh rakyat. Reformasi internal harus diarahkan agar setiap rupiah APBN benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan menjadi sumber korupsi.

  3. Fungsi Pengawasan
    DPR seharusnya menjadi pengawas pemerintah, bukan justru “teman koalisi” yang membiarkan eksekutif melenggang tanpa kontrol. DPR perlu membuktikan bahwa ia berani mengkritik pemerintah ketika kebijakan tidak berpihak pada rakyat, serta menggunakan hak-hak pengawasan secara konsisten.

Mengembalikan DPR pada fungsinya berarti juga memperkuat etika politik. Anggota DPR dipilih untuk menjadi suara rakyat, bukan pedagang kursi atau perpanjangan tangan kepentingan partai semata. Perlu ada mekanisme etika yang jelas, transparansi dalam kerja legislasi, serta keterbukaan agar publik bisa ikut mengawasi.

Selain itu, penegakan hukum tanpa pandang bulu menjadi kunci. Jika ada anggota DPR yang terbukti korupsi atau menyalahgunakan jabatan, penindakan harus tegas dan tidak boleh ada kekebalan politik. Dengan begitu, DPR bisa sedikit demi sedikit merebut kembali kepercayaan rakyat.

Pada akhirnya, seruan “Bubarkan DPR” justru muncul karena kekecewaan rakyat terhadap lembaga ini. Namun jawaban atas kekecewaan itu bukanlah jalan pintas yang membuka kembali pintu militerisme, melainkan pembenahan menyeluruh. Demokrasi hanya akan sehat bila DPR menjalankan fungsi sejatinya: mewakili, mengawasi, dan memperjuangkan rakyat.

Follow us