Mengapa Tambahan Anggaran Rp63,7 Triliun untuk Polri Menuai Kritik Tajam?
Admin
7/15/20253 min read


Pada awal Juli 2025, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp63,7 triliun untuk tahun anggaran 2026. Usulan ini menimbulkan gelombang kritik dari berbagai pihak, terutama di tengah kondisi keuangan negara yang sedang mengalami tekanan berat akibat proyeksi defisit APBN yang kian melebar. Kritik tajam datang dari pegiat antikorupsi, ekonom, hingga lembaga bantuan hukum, mempertanyakan urgensi, transparansi, dan akuntabilitas dari usulan tersebut.
Rincian Usulan Tambahan Anggaran
Dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Komjen Pol. Wahyu Hadiningrat memaparkan bahwa Polri membutuhkan total Rp173 triliun untuk tahun 2026, sementara pagu indikatif pemerintah hanya menyetujui Rp109,6 triliun. Kesenjangan itulah yang melahirkan permintaan tambahan Rp63,7 triliun, yang dirinci sebagai berikut:
Belanja pegawai: Rp4,8 triliun
Belanja barang: Rp13,8 triliun
Belanja modal: Rp45,1 triliun
Belanja modal ini termasuk pengadaan kendaraan listrik, kapal cepat untuk wilayah perbatasan, hingga pembangunan Mako Polsek dan rumah dinas.
Disetujui DPR, Dipertanyakan Publik
Komisi III DPR menyatakan menyetujui dan akan memperjuangkan tambahan anggaran ini ke Badan Anggaran DPR RI. Namun, keputusan ini dinilai kontroversial.
Wana Alamsyah dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut keputusan DPR tak dilandasi justifikasi yang jelas, terlebih ketika kinerja Polri sendiri masih jauh dari ideal. Ia menyoroti sektor belanja barang dan belanja modal yang sangat rentan terhadap praktik korupsi, apalagi di tengah minimnya transparansi informasi publik oleh Polri.
Sementara Albert Wirya, Direktur Eksekutif LBH Masyarakat, menilai permintaan tersebut tidak masuk akal. Ia mempertanyakan ke mana larinya anggaran besar selama ini jika tidak dibarengi pengawasan dan evaluasi menyeluruh, terutama atas kasus-kasus pelanggaran etik dan kekerasan yang terus terjadi di tubuh Polri.
Realisasi Anggaran 2024: Hampir Maksimal, Tapi...
Polri melaporkan bahwa mereka telah merealisasikan Rp136 triliun pada 2024 dari pagu sebesar Rp140 triliun, atau sekitar 97,49%. Namun, realisasi tinggi tak berarti efisiensi atau akuntabilitas.
Albert menyebut masyarakat sipil kesulitan mendapatkan laporan detail pemanfaatan anggaran tersebut. Bahkan beberapa program yang menyerap dana besar seperti "Pelayanan Kesehatan Polri" maupun "Nasihat Hukum" dinilai tak memiliki dampak nyata yang bisa diukur atau dipertanggungjawabkan ke publik.
Di Tengah Krisis Fiskal: Apakah Permintaan Ini Masuk Akal?
Ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, secara tegas menyebut permintaan Polri sebagai sesuatu yang "sangat tidak pantas." Pasalnya, pada 1 Juli 2025, Menkeu Sri Mulyani melaporkan defisit APBN telah menyentuh Rp662 triliun (2,78% dari PDB) melewati target awal Rp616 triliun.
Pendapatan negara pada semester pertama hanya mencapai 40% dari target, angka terendah sejak pandemi 2020. Dalam situasi fiskal seburuk ini, permintaan tambahan anggaran justru mencerminkan adanya "diskoneksi antara pejabat publik dengan realita di lapangan," kata Andri.
Ia bahkan menyebutkan bahwa “penghematan” yang dilakukan lewat Inpres No. 1 Tahun 2025 sebenarnya hanya bentuk realokasi anggaran, bukan efisiensi sesungguhnya sebab justru dipakai untuk membiayai program-program baru dan lembaga tertentu, termasuk MBG (Makan Bergizi Gratis) dan permintaan institusi seperti Polri.
Polemik Akuntabilitas dan Tumpang Tindih Fungsi
ICW juga menyoroti belanja modal yang naik 83,89% tahun depan, yang diduga digunakan untuk pembangunan SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) di seluruh Polda. Proyek ini dikaitkan dengan program MBG, padahal urgensi dan hubungan program ini dengan tugas utama kepolisian masih dipertanyakan.
Tak hanya itu, Albert juga mengkritik adanya tumpang tindih fungsi dengan TNI, khususnya dalam hal pengamanan perbatasan dan pulau-pulau kecil. Menurutnya, peran tersebut seharusnya berada di bawah tupoksi militer, bukan Polri.
Minimnya Evaluasi dan Ketertutupan Polri
Masalah transparansi menjadi sorotan utama. Menurut ICW, Polri belum pernah secara konsisten mempublikasikan Laporan Kinerja mereka, bahkan data SLOG (Staf Logistik Polri) yang mengelola anggaran besar pun tidak ditemukan sejak 2020.
Dalam praktiknya, masyarakat juga terus mencatat berbagai kasus yang memperlihatkan buruknya akuntabilitas internal, mulai dari kekerasan terhadap demonstran, salah tangkap, hingga korupsi internal. Hal ini membuat kepercayaan publik terus tergerus, sehingga sulit untuk menerima alasan Polri meminta dana jumbo.
Akankah Disetujui Tanpa Perbaikan Sistemik?
Permintaan tambahan anggaran Polri ini menjadi ujian besar bagi komitmen negara dalam menjaga akuntabilitas publik dan keuangan negara. Di tengah tekanan fiskal dan rendahnya kepercayaan terhadap institusi penegak hukum, transparansi, evaluasi kinerja, dan reformasi menyeluruh menjadi syarat mutlak sebelum membuka keran anggaran yang lebih besar lagi.
Apakah DPR akan kembali menyetujui tanpa kritik? Atau publik mulai mendorong adanya perombakan mendasar dalam cara anggaran disusun dan digunakan?