Tan Malaka: Sang Bapak Republik yang Ditembak oleh Tentaranya Sendiri

hushwatchid

8/19/20253 min read

Tan Malaka adalah salah satu tokoh paling misterius, kontroversial, sekaligus berpengaruh dalam sejarah pergerakan Indonesia. Ia seorang pemikir revolusioner, penulis, pengorganisir buruh, pejuang kemerdekaan, hingga akhirnya mati ditembak oleh tentara Republik Indonesia sendiri pada 21 Februari 1949, di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Ironi sejarah itu menjadikan kisah hidup Tan Malaka begitu tragis, namun juga monumental.

Jejak Awal: Dari Minangkabau ke Dunia Internasional

Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, dengan nama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka. Latar belakang Minangkabau yang kental dengan tradisi merantau, pendidikan, dan pemikiran bebas, memberi dasar kuat bagi pandangan hidupnya.

Setelah menamatkan pendidikan guru di Bukittinggi, ia melanjutkan studi ke Rijkskweekschool di Haarlem, Belanda. Di Eropa, ia bersentuhan dengan sosialisme, komunisme, dan gerakan buruh internasional. Pengalaman ini membentuknya menjadi sosok radikal yang kelak menulis karya penting seperti Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) tahun 1925 — jauh sebelum kemerdekaan 1945 diproklamasikan.

Aktivis, Pengasingan, dan Pelarian

Pada dekade 1920-an, Tan Malaka menjadi salah satu tokoh kunci Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia juga mendirikan organisasi Sarekat Rakyat dan aktif dalam gerakan buruh. Namun, aktivitas politiknya membuat Belanda khawatir. Tahun 1922 ia ditangkap, lalu dibuang ke Belanda. Dari sana ia mengembara ke Filipina, Singapura, Cina, hingga Uni Soviet, selalu diburu intelijen kolonial.

Di masa pelariannya, ia menggunakan berbagai nama samaran, seperti Hasan Gayo dan Elias Fuentes, untuk menghindari penangkapan. Selama lebih dari dua dekade, hidupnya diwarnai pengasingan, pengkhianatan, dan perjuangan tanpa henti.

Peran di Masa Revolusi

Setelah Jepang kalah pada 1945, Tan Malaka kembali ke Indonesia. Ia tampil sebagai tokoh alternatif yang menolak kompromi dengan Belanda. Dalam buku Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi), ia menekankan pentingnya perang rakyat semesta gagasan yang sangat relevan kala itu.

Tan Malaka juga memimpin gerakan Persatuan Perjuangan (1946), sebuah aliansi politik yang beranggotakan berbagai kelompok revolusioner. Persatuan ini menuntut kemerdekaan 100% dan menolak perundingan dengan Belanda. Popularitasnya bahkan sempat mengancam dominasi Sukarno - Hatta dalam Republik yang baru lahir.

Namun, pemerintah justru menganggap Tan Malaka sebagai pengganggu stabilitas. Pada Maret 1946, ia ditangkap oleh pemerintah Republik dan dipenjara di Ponorogo selama setahun lebih, sebelum akhirnya dibebaskan pada 1948.

Tragedi Selopanggung: Ditembak oleh Republik

Ironi terbesar dalam hidup Tan Malaka terjadi setelah peristiwa Agresi Militer II Belanda (Desember 1948). Saat Belanda menyerang dan menduduki Yogyakarta, Tan Malaka bergerilya bersama laskar rakyat di Kediri, Jawa Timur.

Namun, keberadaannya dianggap membahayakan oleh sebagian pimpinan militer Republik. Tan Malaka dicurigai hendak membentuk kekuatan tandingan dan tidak sejalan dengan strategi TNI. Pada 21 Februari 1949, di sebuah perkebunan tebu di Desa Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Batalyon Sikatan (Divisi Brawijaya). Tak lama kemudian, ia dieksekusi mati dengan tembakan di kepala.

Kabar eksekusi itu tidak dipublikasikan secara resmi. Bahkan, hingga bertahun-tahun kemudian, detail kematiannya tetap menjadi misteri. Baru pada 1970-an sejarawan Belanda Harry Poeze berhasil menelusuri jejaknya dan mengungkap fakta sejarah tersebut.

Warisan Pemikiran

Meski tubuhnya hilang ditelan tanah Selopanggung, warisan pemikiran Tan Malaka tetap hidup. Ia adalah tokoh yang pertama kali mengartikulasikan gagasan Republik Indonesia jauh sebelum proklamasi 1945.

Beberapa karya pentingnya antara lain:

  • Naar de Republiek Indonesia (1925)

  • Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika)

  • Gerpolek (1948)

Tulisan-tulisan ini mencerminkan pandangan luasnya tentang kemerdekaan, filsafat, dan strategi perjuangan.

Pengakuan Pasca-Kematian

Nama Tan Malaka sempat “dihilangkan” dari sejarah resmi Indonesia karena dianggap berhubungan dengan komunisme. Baru pada 1963, Presiden Sukarno secara resmi menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Namun, hingga kini, sosoknya masih sering diperdebatkan: apakah ia komunis murni, nasionalis radikal, atau sekadar revolusioner independen?

Yang jelas, Tan Malaka adalah figur langka: seorang pejuang kelas dunia yang akhirnya ditembak mati oleh bangsanya sendiri.

Penutup

Kisah Tan Malaka adalah cermin dari paradoks Revolusi Indonesia. Ia lahir dari rahim rakyat, berjuang untuk republik, namun mati oleh peluru republik itu sendiri. Tragedi ini membuat namanya tak hanya hidup dalam buku sejarah, tapi juga dalam ingatan kolektif bangsa yang terus mencari keadilan bagi para pejuangnya.

Follow us